Ahok Diperiksa Bareskrim Polri Setelah Kejagung, Kasus Korupsi Rp 668 Miliar

Haluan.xyz - Usai Kejagung, Ahok Diperiksa Bareskrim Polri Terkait Dugaan Korupsi Senilai Rp 668 Miliar.
Setelah diperiksa pada kasus dugaan korupsi minyak mentah PT Pertamina beberapa waktu lalu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kini kembali menjalani pemeriksaan
Kali ini bukan Kejagung, Ahok diperiksa Bareskrim Polri pada Rabu (11/6/2025).
Politikus PDIP itu keluar dari Gedung Awaloedin Djamin Bareskrim pada pukul 13.50 WIB siang.
Wartawan sempat berusaha mengejar Ahok untuk mendapatkan keterangan.
Namun Ahok sudah lebih dulu berada di dalam mobilnya.
Saat dikonfirmasi wartawan, Ahok dengan singkat menyampaikan bahwa ia diperiksa terkait kasus dugaan korupsi pengadaan lahan rumah susun di Cengkareng, Jakarta Barat.
"Tambahan BAP pemeriksaan Maret tahun lalu soal lahan (rumah susun) Cengkareng," kata Ahok kepada wartawan, Rabu (11/6/2025) siang.
Ahok tidak menjelaskan lebih perinci soal materi pemeriksaan yang ditanyakan oleh penyidik.
Namun, ia menegaskan bahwa pemeriksaannya ini sebagai bentuk sikap kooperatif dan membantu polisi dalam mengusut kasus tersebut.
"Intinya membantu penyidik agar tidak kalah dengan tersangka," ujar dia.
Kasusnya saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta
Diketahui, pada tahun 2016 lalu, Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menduga adanya kejanggalan dalam pengadaan lahan rusun Cengkareng.
Ahok lantas melaporkan perkara itu ke Bareskrim Polri untuk diusut.
Saat itu ia menyampaikan bahwa lahan yang dibeli ternyata milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Menurut Ahok, terjadi pemalsuan dokumen ketika proses pembelian lahan dari warga bernama Toeti Noeziar Soekarno.
Dalam dokumen itu, keterangan tanah diubah bukan milik Pemprov DKI Jakarta, tetapi merupakan tanah sewa.
Sudah Dua Orang Ditetapkan sebagai Tersangka
Bareskrim Polri telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus pengadaan lahan untuk pembangunan rumah susun (rusun) di Cengkareng tersebut.
Karo Penmas Divisi Humas Polri yang saat itu dijabat Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan menyebutkan, korupsi itu diduga terjadi pada lahan seluas 4,69 hektar dan 1.137 meter.
“Berdasarkan laporan polisi nomor LP 656/VI/2016 Bareskrim tanggal 27 Juni 2016, di mana waktu kejadian pada tahun 2015 dengan dua tersangka, yaitu S (Sukmana) dan RHI (Rudi Hartono Iskandar),” tutur Ramadhan dalam keterangannya pada 2 Februari 2022 lalu.
Sejumlah Pihak Mengklaim Lahan
Diketahui, sejumlah pihak saat itu mengklaim sebagai pemilik sah lahan.
Sejumlah instansi, baik instansi pemerintah, perusahaan swasta, hingga perorangan, menyebut memiliki sertifikat lahan tersebut.
Pemerintah DKI melalui Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta mengklaim memili sertifikat lahan.
Namun seorang warga, Toeti Noeziar Soekarno juga mengklaim memiliki sertifikat lahan atas namanya.
Bahkan, Toeti telah menjual lahan itu kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta seharga Rp 668 miliar pada tahun 2015. Lahan yang dibeli Dinas Perumahan seluas 4,6 hektar.
Lahan itu terletak di Jalan Kamal Raya, Cengkareng Barat, Jakarta Barat.
Namun saat itu, Toeti Noeziar Soekarno tengah melayangkan gugatan kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta karena Dinas Perumahan mempertanyakan keaslian dokumen milik Toeti.
Keraguan itu muncul setelah adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI tahun 2015.
Laporan BPK menyebutkan bahwa lahan itu sebenarnya milik DKI sendiri.
Jadi DKI telah membeli lahannya sendiri.
Hal itu pun membuat Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berang.
Ia pun meminta BPK untuk melakukan audit investigatif.
Ahok juga minta Bareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Koruopsi (KPK) menyelidiki kasus itu.
PT Sabar Ganda Sitorus dan Kun Soekarno Juga Mengklaim Pemilik Lahan
Selain Toeti, muncul dua nama baru yang ikut mengklaim sebagai pemilik lahan itu, yaitu PT Sabar Ganda Sitorus, dan seorang warga bernama Kun Soekarno.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta Darjamuni menyebutkan bahwa PT Sabar Ganda dan Kun Soekarno juga mengklaim lahan itu milik mereka.
Namun Darjamuni tidak menjelaskan secara rinci apakah kedua pihak juga memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Nama PT Sabar Ganda sebenarnya tidak asing. Sabar Ganda milik DL Sitorus.
PT Sabar Ganda sebelumnya pernah digugat oleh Pemprov DKI karena dianggap mengklaim lahan milik negara.
Pada 2010, gugatan Pemprov dikabulkan, lahan itu kembali menjadi milik Pemprov DKI.
Sedangkan nama Kun Soekarno tercantum dalam bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk lahan itu.
Penjelasan Kelurahan Cengkareng Barat
Staf Kelurahan Cengkareng Barat di bidang pemerintahan yang saat itu dijabat Soebirin mengatakan, PBB atas nama Kun Soekarno sudah ada sejak 2012 hingga 2015.
Namun Soebirin tidak bisa menunjukan bukti pembayaran itu karena seluruh data telah diambil oleh KPK dan BPK untuk keperluan penyidikan.
Meski nama Toeti Noeziar Soekarno dan Kun Soekarno terlihat mirip, belum diketahui hubungan kedua orang tersebut.
Saat itu , Pemprov DKI melalui Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta melakukan upaya hukum untuk mendapatkan kembali tanah yang diklaim sebagai milik Pemprov DKI itu.
Pemprov DKI Jakarta Tagih Uang Kerugian Negara kepada Toeti Noezlar Soekarno Sebesar Rp668 Miliar
Setelah dinyatakan menang oleh Pengadilan Tinggi Negeri atas kepemilikan lahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI pun menagih kerugian negara atas pembelian lahan tersebut kepada pihak swasta, atas nama Toeti Noezlar Soekarno.
Kepala Biro Hukum DKI yang saat itu dijabat Yayan Yuhanah mengatakan penagihan kerugian negara kepada Toeti akan diarahkan oleh Inspektorat Provinsi.
Penagihan ini dilakukan atas dasar rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menilai pembelian lahan Cengkareng Barat telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 668 miliar.
“Jadi nanti, yang melakukan penagihan adalah Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI. Nanti penagihan di-guidanceoleh Inspektorat Provinsi DKI,” kata Yayan di Balai Kota DKI, Jakarta, Kamis (21/2/2029).
Penagihan dilakukan oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, lanjutnya, karena dinas ini yang melakukan pembelian lahan kepada Toeti.
Jumlah ganti rugi yang ditagih sama dengan uang yang telah dikeluarkan dari APBD DKI 2016 lalu, yakni sebesar Rp 668 miliar.
Yayan menegaskan, penagihan kerugian negara ini harus dilakukan karena keputusan kepemilikan lahan Cengkareng Barat atas nama Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Gugatan Bu Toeti sudah ditolak. Kami menang istilahnya. Dalam putusan hukum, Pemprov DKI tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam mencatatkan lahan tersebut sebagai aset,” ujar Yayan.
Selain melakukan penagihan kerugian negara, putusan pengadilan juga akan ditindaklanjuti dengan pembatalan sertifikat baru lahan Cengakareng Barat atas nama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Sehingga lahan tersebut akan tetap tercatat sebagai aset Dinas Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta.
Seperti diketahui, kasus lahan Cengkareng Barat bermula ketika Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI membeli lahan seluas 4,6 hektare itu pada 2015 seharga Rp 668 miliar dari pihak swasta atas nama Toeti Noezlar Soekarno. Pembelian lahan untuk pembangunan rumah susun.
Pembelian lahan ini menjadi masalah, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan lahan tersebut juta terdata sebagai milik Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI.
Ahok pun berang dan permasalahan ini pun dibawa ke Pengadilan Tinggi Negeri.
Kemudian, pada 6 Juni 2017, majelis hakim memutuskan perkara tersebut tidak dapat diterima.
Toeti sempat mengajukan banding pada akhir 2017, namun akhirnya dikalahkan oleh Pengadilan Tinggi DKI pada 7 Maret 2018. Putusan bernomor 35/PDT/2018/PT
(kompas/Tribunnews)
Posting Komentar