ZMedia Purwodadi

Pagi di Oebubun: Laut, Doa, dan Makna Diam

Table of Contents

MEDIA KUPANG – Pagi baru saja merekah di ufuk timur ketika langkah saya pertama kali menyentuh pasir Pantai Oebubun. Matahari masih malu-malu bersembunyi di balik gumpalan awan tipis, sementara angin laut menyambut dengan bisikan yang lembut. Saya berdiri sejenak, membiarkan kaki terbenam pelan dalam pasir yang hangat, dan membiarkan hati menyesuaikan irama dengan alam.

Pantai Oebubun, sebuah nama yang mungkin belum banyak dikenal di peta besar pariwisata Indonesia, terletak di Desa Oepuah Utara, Kecamatan Biboki Moenleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Tidak ada gapura megah yang menyambut. Tidak ada musik latar atau suara promosi dari pengeras suara. Yang ada hanya suara debur ombak, kicau burung, dan hembusan angin — semua berbicara dalam bahasa sunyi yang menenangkan.

Saya datang dengan maksud sederhana: ingin menjauh sejenak dari bising dunia, dari notifikasi yang tak henti, dari tekanan dan rutinitas yang membekukan rasa. Tapi saya pulang dengan sesuatu yang lebih dari sekadar udara segar dan foto pemandangan. Saya pulang dengan pelajaran tentang kesederhanaan, ketulusan, dan diam.

Alam yang Tidak Menuntut

Pantai ini tidak memaksa untuk dikagumi. Ia tidak bersolek seperti destinasi wisata populer lain. Tapi justru karena itu, Oebubun terasa jujur. Garis pantainya panjang, lautnya bersih dan tenang, pasirnya lembut, dan batu-batu karang berdiri kokoh seperti penjaga setia. Di kejauhan, perahu-perahu nelayan terlihat mengayun perlahan. Tidak tergesa. Tidak riuh.

Di salah satu sudut pantai, saya bertemu seorang nelayan bernama Bapak Mateus. Tangannya cekatan memperbaiki jala yang usang, wajahnya penuh ketenangan. Ia bercerita sambil tersenyum, “Laut ini kasih hidup buat kami. Tapi lebih dari itu, laut ini kasih kami tenang.”

Tidak jauh dari situ, beberapa anak kecil berlari-lari mengejar ombak. Tertawa lepas, tanpa beban. Di wajah mereka tidak ada tanda kekhawatiran akan masa depan. Yang ada hanya kebebasan yang tak bisa ditemukan di layar ponsel atau gedung bertingkat.

Diam yang Menyembuhkan

Saya duduk di atas batu besar yang menghadap ke laut. Menyaksikan matahari mulai naik, warnanya menciptakan lukisan oranye dan emas di atas air yang bergelombang ringan. Saat itu saya sadar, bahwa sering kali kita mencari jawaban dalam keramaian, padahal mungkin yang kita butuhkan hanyalah duduk diam di depan laut, dan mendengarkan.

Pantai Oebubun tidak menjanjikan wahana. Tidak menjual selfie spot. Tapi justru karena itu, ia menjadi tempat yang tepat untuk merenung — tentang hidup, tentang kehilangan, tentang pengharapan. Saya menutup mata dan membiarkan suara ombak menyusup ke dalam batin. Ada damai yang tak bisa dijelaskan. Ada rasa pulang, meski ini bukan kampung halaman saya.

Bukan Sekadar Destinasi

Pantai Oebubun adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita saat kita berani duduk dan mendengarkan. Mungkin tidak semua orang akan jatuh cinta pada tempat ini. Tapi bagi mereka yang pernah terluka, pernah lelah, atau sedang mencari arti dari perjalanan hidup — Oebubun bisa menjadi tempat berteduh sejenak.

Ketika akhirnya saya berdiri untuk pulang, saya tidak membawa oleh-oleh selain pasir di sepatu dan ketenangan di dada. Tapi keduanya cukup. Karena pagi itu, di tepi laut yang jauh dari pusat kota dan ingar bingar dunia, saya belajar bahwa tidak semua tempat indah harus ramai. Dan tidak semua keheningan adalah kesepian.

Di Oebubun, saya belajar tentang diam — dan bagaimana diam kadang adalah doa yang paling jujur.

Pantai Oebubun masih minim fasilitas. Namun, keindahannya tetap asli dan belum tersentuh komersialisasi. Akses dari Kefamenanu memerlukan sekitar 1–1,5 jam perjalanan darat. Untuk yang ingin mencari ketenangan, keaslian alam, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat pesisir, Oebubun adalah pilihan yang layak disinggahi — bukan hanya dengan kaki, tapi dengan hati.***

Posting Komentar