ZMedia Purwodadi

Alasan Lulusan Kesulitan Mendapat Pekerjaan

Table of Contents
Featured Image

Penyebab Meningkatnya Pengangguran Sarjana di Indonesia

Pengangguran sarjana di Indonesia terus meningkat, menurut analisis yang disampaikan oleh pengamat ketenagakerjaan Tadjuddin Noer Effendi. Dalam data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pengangguran sarjana mencapai 1,01 juta orang pada tahun ini, naik sekitar 200 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menjadi perhatian serius karena menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan pasar kerja dan kesiapan tenaga kerja.

Menurut Tadjuddin, dua faktor utama yang menyebabkan fenomena ini adalah ketersediaan lapangan kerja dan kompetensi calon pekerja. Dari sisi lapangan kerja, ia mengungkapkan bahwa pembangunan tidak merata antardaerah, sehingga industri cenderung terpusat di Pulau Jawa. Akibatnya, sarjana yang berada di luar Jawa kesulitan mendapatkan informasi atau akses ke peluang kerja. Masalah ini dikenal sebagai pengangguran freksional.

Selain itu, banyak sarjana yang tidak mampu merantau karena kondisi sosial dan ekonomi. Tadjuddin menjelaskan bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan untuk pindah ke daerah lain. Hal ini memperparah masalah pengangguran, terutama di wilayah yang kurang berkembang.

Dari sisi kompetensi, Tadjuddin menilai ada ketidakselarasan antara apa yang diajarkan di perguruan tinggi dan kebutuhan industri. Ia menyoroti bahwa saat ini dunia kerja lebih membutuhkan ahli IT, namun produksi lulusan di Indonesia masih dominan dari bidang humaniora dan sosial. Hal ini disebabkan oleh kegagapan perguruan tinggi dalam mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Tadjuddin menegaskan bahwa lambannya adaptasi perguruan tinggi dipengaruhi oleh kurangnya sumber daya manusia dan anggaran yang tidak cukup. Ia menyebut bahwa dana pemerintah seringkali tidak mencukupi untuk membiayai peralatan teknologi tinggi yang diperlukan. Untuk mengatasi hal ini, ia menyarankan adanya kerja sama antara perguruan tinggi dan industri. Namun, ia juga mengakui bahwa tidak semua industri bersedia menjadi tempat pelatihan.

Oleh karena itu, Tadjuddin berharap Kementerian Pendidikan Tinggi dapat menjadi jembatan antara kedua belah pihak. Menurutnya, pemerintah sebagai regulator harus bisa menyambungkan ketidaksesuaian ini agar proses pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Program Studi yang Tidak Relevan

Pengamat pendidikan Suyanto juga menyampaikan pandangan serupa. Ia mengatakan bahwa banyak program studi di perguruan tinggi sudah tidak relevan dengan kebutuhan industri. Selain itu, perguruan tinggi masih gagap dalam merespons perkembangan teknologi seperti AI (Artificial Intelligence). Menurutnya, respon perguruan tinggi terhadap inovasi teknologi masih setengah hati.

Suyanto menyarankan agar program studi yang tidak lagi relevan segera diperbaharui atau dihapus. Ia menilai bahwa menutup satu program studi bukanlah hal yang tabu, mengingat lingkungan akademik selalu berubah. Sayangnya, di Indonesia, masyarakat cenderung tidak ingin melepaskan sesuatu yang sudah ada, meskipun tidak lagi bermanfaat.

Tantangan Perguruan Tinggi dalam Mengadaptasi Perubahan

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Togar Mangihut Simaptupang, juga mengakui bahwa relevansi antara pembelajaran di bangku kuliah dan kebutuhan industri menjadi salah satu penyebab tingginya pengangguran sarjana. Ia menjelaskan bahwa jarak antara keduanya tercipta karena perubahan di lapangan yang cepat, sedangkan produksi tenaga kerja relatif konstan. Ini menyebabkan sistem umpan balik yang terlambat.

Togar menambahkan bahwa perguruan tinggi kesulitan mengimbangi kecepatan perubahan karena aturan birokrasi yang kaku. Misalnya, evaluasi kurikulum dilakukan setiap lima tahun, sementara perubahan teknologi dan kebutuhan industri terjadi lebih cepat. Selain itu, proses penghapusan atau perubahan program studi yang tidak relevan sangat rumit dan memakan waktu hingga dua tahun. Belum lagi, banyak kampus enggan melakukan perubahan karena terkait dengan akreditasi.

Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah pengangguran sarjana, termasuk perbaikan kurikulum, peningkatan kerja sama dengan industri, serta penghapusan program studi yang tidak lagi relevan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa lulusan perguruan tinggi siap menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin dinamis.

Posting Komentar