Roda Nasib Sri Kayu dan Pasar Mebel Eks-Bong Mojo Solo: Dulu Ramai, Kini Sepi

Program Sri Kayu, Tantangan dan Kendala yang Dihadapi
Program Sri Kayu menjadi salah satu prioritas utama dalam kepemimpinan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Proyek ini direncanakan sebagai sentra industri yang mampu menghasilkan produk berkualitas untuk pasar ekspor. Namun, beberapa kendala muncul seiring dengan pelaksanaannya, terutama dari sisi para pengusaha dan pedagang.
Ketua Koperasi Mentari, Sumarji, menjelaskan bahwa banyak pedagang kesulitan beralih dari peran sebagai penjual menjadi pengrajin. Mereka biasanya hanya membeli barang setengah jadi dan melakukan finishing sebelum dijual. Perubahan ini membutuhkan pelatihan khusus agar mereka mampu memproduksi mulai dari awal. Meski pemerintah telah memberikan pelatihan, realitanya cukup sulit karena kurangnya SDM yang kompeten dalam pengelolaan produksi.
Di Pasar Mebel Gilingan, yang berada di Jalan Kolonel Sutarto, Gilingan, Banjarsari, perputaran ekonomi sudah berjalan baik sebelum pembangunan Sri Kayu. Pedagang membeli mebel mentahan lalu melengkapi dengan finishing sebelum dijual. Pasar ini memiliki 60 kios yang aktif.
Pemerintah kemudian merencanakan pembangunan Sri Kayu untuk mengejar pasar ekspor. Para pedagang yang sebelumnya berada di Pasar Mebel Gilingan direlokasi ke Pasar Mebel Eks-Bong Mojo. Untuk membantu para pedagang masuk ke Sri Kayu, pemerintah memberikan fasilitasi seperti pendirian koperasi dan pelatihan. Awalnya ada sekitar 60 pengrajin yang terlibat, dan setelah pembangunan, mereka ditempatkan di Bong Mojo dengan jumlah kios yang sama.
Namun, tidak semua pedagang setuju dengan rencana ini. Beberapa dari mereka ingin tetap tinggal di Pasar Mebel Gilingan. Proses dialog dilakukan beberapa kali di Balai Kota, meskipun Wali Kota sendiri tidak pernah hadir langsung dalam pertemuan tersebut. Mayoritas pedagang ingin pasar dibangun kembali, namun pemerintah memutuskan untuk memindahkan mereka ke lokasi baru.
Setelah enam bulan berjalan, para pedagang justru menghadapi kesulitan beradaptasi dengan mesin canggih dan gedung yang mewah di Sri Kayu. Hingga saat ini belum ada transaksi yang terjadi di tempat tersebut. Salah satu kendala utamanya adalah SDM yang tidak memadai. Sebelumnya, mereka hanya terbiasa berjualan, bukan memproduksi barang dari awal. Mesin-mesin yang tersedia sangat canggih, namun tanpa SDM yang sesuai, proses produksi tidak bisa berjalan efektif.
Sumarji menilai bahwa pembangunan sentra industri seperti Sri Kayu akan lebih efektif jika dilakukan di lingkungan pengrajin, bukan di tengah-tengah pedagang. Contohnya, di daerah Kalioso atau Nganjuk, Jawa Timur, di mana sebagian besar penduduknya adalah pengrajin, manfaat dari sentra industri ini akan lebih besar. Namun, di Solo, situasinya berbeda karena tidak ada pengrajin yang signifikan di sekitar lokasi Sri Kayu.
Selain itu, Pasar Mebel Eks-Bong Mojo juga mengalami penurunan drastis. Pasar ini masih belum diresmikan dan lokasinya kurang strategis, sehingga sulit dijangkau oleh konsumen. Pemerintah juga dinilai kurang melakukan promosi secara maksimal. Tanpa event atau sosialisasi yang memadai, pasar baru ini sulit dikenal kembali oleh masyarakat.
Banyak pedagang mengeluh bahwa tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk mempromosikan pasar baru ini. Tanpa dukungan yang nyata, mereka kesulitan mengembalikan kondisi usaha seperti dulu. Dengan demikian, tantangan dan kendala yang dihadapi Sri Kayu dan Pasar Mebel Eks-Bong Mojo menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur industri membutuhkan persiapan yang matang dan dukungan dari berbagai pihak.
Posting Komentar