ZMedia Purwodadi

Waspadai Penurunan Surplus Perdagangan RI Jika Impor dari AS Meningkat

Table of Contents
Featured Image

Langkah Pemerintah untuk Menghadapi Potensi Tekanan Neraca Perdagangan

Pemerintah Indonesia berencana mengimpor energi dan produk agrikultur dari Amerika Serikat (AS), serta melakukan investasi melalui Danantara senilai US$ 34 miliar. Langkah ini merupakan bagian dari negosiasi tarif resiprokal dengan AS, yang bertujuan agar tarif sebesar 32% yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 dapat diturunkan.

Dalam rencana tersebut, impor energi direncanakan mencapai US$ 15,5 miliar, meskipun besaran volumenya belum diketahui secara pasti. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa langkah ini memiliki risiko yang signifikan, terutama dalam hal potensi perubahan surplus perdagangan Indonesia dengan AS menjadi defisit. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai impor yang telah disepakati, khususnya impor minyak.

Menurut Josua, surplus perdagangan Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar US$ 31,24 miliar. Dengan asumsi tambahan impor minyak dari AS sebesar US$ 15 miliar, surplus tersebut berpotensi mengalami penurunan yang signifikan. Belum lagi, jika impor produk pertanian juga mencapai angka yang besar, maka tekanan terhadap surplus perdagangan akan semakin besar.

Dalam skenario terburuk, Josua menyebut bahwa surplus neraca dagang Indonesia secara keseluruhan bisa berkurang tajam ke kisaran US$ 10 miliar hingga US$ 15 miliar, meskipun belum sepenuhnya memicu defisit total. Selain itu, ada beberapa faktor lain yang berpotensi memengaruhi neraca dagang Indonesia secara lebih luas.

Faktor-Faktor yang Berpotensi Mempengaruhi Neraca Dagang

  1. Pemberlakuan Tarif 32% oleh AS: Tarif ini akan mengurangi daya saing ekspor produk manufaktur dan komoditas Indonesia di pasar AS, yang merupakan salah satu pasar penting bagi ekspor nasional. Nilai ekspor ke AS mencapai sekitar 9% hingga 10% dari total ekspor nasional.

  2. Perlambatan Ekonomi Global: Perlambatan ekonomi di AS, China, dan Eropa akan melemahkan permintaan global terhadap produk ekspor Indonesia, sehingga meningkatkan tekanan terhadap neraca perdagangan.

  3. Fluktuasi Harga Komoditas: Fluktuasi harga komoditas ekspor unggulan seperti batu bara, minyak sawit, dan mineral kritis akan memengaruhi kemampuan Indonesia dalam mempertahankan surplus perdagangan.

  4. Depresiasi Rupiah: Potensi depresiasi rupiah akibat sentimen negatif global akan membuat biaya impor semakin mahal, sehingga menekan posisi neraca perdagangan.

Solusi Strategis yang Dianjurkan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, Josua menilai pemerintah perlu menerapkan sejumlah solusi strategis. Beberapa di antaranya adalah:

  • Mempercepat Negosiasi dengan AS: Pemerintah perlu mempercepat dan mengintensifkan negosiasi dengan AS menjelang pemberlakuan tarif pada 1 Agustus 2025. Menko Airlangga Hartarto sendiri telah aktif merundingkan hal ini langsung dengan pemerintah AS.

  • Diversifikasi Ekspor: Pemerintah disarankan untuk segera melakukan diversifikasi ekspor ke negara-negara lain seperti ASEAN, Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika secara intensif.

  • Meningkatkan Daya Saing Produk Domestik: Reformasi struktural, deregulasi, simplifikasi perizinan impor, dan peningkatan iklim investasi sangat krusial untuk meningkatkan daya saing produk domestik.

  • Memanfaatkan Investasi dari MoU dengan Danantara: Investasi yang dihasilkan dari Memorandum of Understanding (MoU) dengan Danantara dapat digunakan untuk mengembangkan sektor substitusi impor, sehingga mengurangi tekanan impor secara bertahap.

  • Optimalisasi Pengembangan Industri Pengolahan Mineral Kritis: Pemerintah juga disarankan untuk melakukan optimalisasi pengembangan industri pengolahan mineral kritis seperti nikel, tembaga, kobalt, dan mangan yang diminati AS, guna memperluas kerja sama strategis.

Josua menegaskan bahwa jika pemerintah mampu menjalankan solusi-solusi tersebut secara optimal, Indonesia akan memiliki ketahanan yang lebih kuat dalam menghadapi potensi tekanan neraca perdagangan. Meskipun kondisi pada tahun 2025 tetap menantang, dengan langkah-langkah antisipasi dan negosiasi yang tepat, risiko defisit perdagangan secara keseluruhan bisa diminimalkan. Surplus perdagangan Indonesia diproyeksikan tetap positif, meski lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Posting Komentar